Jumat, 04 Juli 2008

Jugun Ianfu: They Rape Our Grandma

Jugun Ianfu: Kesaksian Mardiyem Pengalaman yang Diingkari Juliani Wahjana 28-03-2007 SP_mardiyem_240.jpg Mardiyem alias '... thumbnail 1 summary



Jugun Ianfu: Kesaksian Mardiyem
Pengalaman yang Diingkari

Juliani Wahjana

28-03-2007

SP_mardiyem_240.jpg

Mardiyem alias 'Momoye'
Tiada yang lebih menyakitkan dan merendahkan ketika pengalaman pribadi seseorang dinyatakan tidak benar dan bahkan diingkari. Namun itulah yang terjadi dengan para perempuan eks Jugun Ianfu, para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks oleh militer Jepang pada masa Perang Dunia II.

Awal bulan Maret, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya pemaksaan terhadap para perempuan untuk menjadi budak seks. Itu merupakan pernyataan yang menyakitkan dan sekaligus mengingkari pengalaman para perempuan itu. Bukan hanya itu saja, pernyataan tersebut juga mengingkari bukti-bukti sejarah yang ada.

Pernyataan Perdana Menteri Abe ini menyulut kemarahan di negara-negara seperti Cina, Korea, Filipina, dan juga Belanda yang sejumlah warganya dulu di Indonesia juga menjadi korban. Sejarawan menyatakan sekitar 200 ribu perempuan dari Korea, Cina, Filipina, Taiwan, dan Indonesia dipaksa menjadi budak seks untuk melayani tentara Dai Nippon pada waktu itu. Apabila Perdana Menteri Abe sekarang menyatakan tidak ada paksaan, berarti 200 ribuan perempuan itu semuanya berbohong berramai-ramai tentang pengalaman mereka?

Jugun Ianfu Indonesia
Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1500 perempuan eks jugun ianfu yang sebagian besar dari mereka sudah berusia lanjut bahkan telah meninggal dunia. Perjuangan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan serta pengakuan tidak saja melelahkan dan lama, tapi mereka juga nyaris berjuang sendirian karena sampai saat ini tidak nampak adanya dukungan dari pemerintah terlebih pengakuan terhadap mereka.

‘Mungkin ini disebabkan isu ini sangat politis sekali karena berkaitan dengan pemerintah Jepang yang tidak dipungkiri lagi memberi bantuan dan hibah terbesar buat Indonesia. Jadi mungkin pemerintah takut apabila menyikapi isu ini maka bisa berdampak pada sisi policy Jepang sebagai negara pendonor terbesar bagi Indonesia'. Demikian tanggapan Estu Fanani dari LBH Apik, anggota Jaringan Advokasi Jugun Ianfu.

Kisah ' Momoye'
Salah satu eks Jugun Ianfu di Indonesia yang masih gigih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan adalah Ibu Mardiyem. Tahun 1943, Mardiyem ketika itu masih seorang remaja berusia 13 tahun. Ia telah yatim piatu pada waktu itu. Ibunya meninggal ketika ia masih bayi dan ayahnya menyusul sepuluh tahun kemudian. Mardiyem kecil yang hobi menyanyi ini menyangka akan diajak masuk dalam kelompok sandiwara ketika tentara Jepang melakukan pendaftaran untuk anak-anak perempuan. Mardiyem kecil tidak merasa curiga ketika ia harus menjalani pemeriksaan kesehatan.

Mardiyem bersama 48 anak perempuan lainnya dibawa ke Kalimantan atau Borneo pada waktu itu. Seminggu sesampainya di Banjarmasin Mardiyem tidak dipekerjakan di kelompok sandiwara tapi dimasukkan ke hotel Tlawang yang sebenarnya adalah rumah bordil. Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11 dan iapun diberi nama baru, nama Jepang ‘Momoye'. Baru Mardiyem menyadari bahwa ia dan teman-temannya dijadikan apa yang disebutnya ‘orang nakal'.

Oleh karena itu Mardiyem sangat marah apabila dikatakan bahwa dirinya adalah pelacur sebelum dijadikan Jugun Ianfu itu. Mardiyem selanjutnya bertutur bahwa teman-temannya yang dimasukkan di hotel tersebut semuanya menangis. ‘Hati saya remuk. Saya ini dari keluarga baik-baik, lingkungan saya priyayi, kok bisa saya jadi orang nakal', begitu kata Mardiyem sambil menghela napas.

Dari kamar nomor 11 itulah, penderitaan demi penderitaan dialami oleh Mardiyem. Tendangan dan pukulan seringkali diterima dari para tamunya apabila ia berani menolak permintaan tamu Jepangnya. ‘Perlakuan seperti binatang, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa', demikian Mardiyem. Bahkan perlakuan seperti ini masih saja berlangsung ketika ia telah hamil lima bulan dan ia sendiri tidak mengetahuinya. Ia harus menggugurkan kandungannya itu. ‘Perut saya ditekan, sakitnya bukan main dan ketika keluar ia masih menggeliat-geliat', demikian tutur Mardiyem sambil matanya menerawang ke langit-langit rumahnya di Yogyakarta. Akibatnya, kandungan Mardiyem rusak sehingga ia tidak bisa lagi menghasilkan keturunan.

Paksaan
Mungkin saja paksaan seperti yang dimaksudkan Perdana Menteri Abe itu berbentuk laras senjata yang diacungkan di depan kepala. Memang hal seperti itu tidak dialami oleh para korban yang pernah memberi kesaksian seperti Mardiyem dari Indonesia atau Zhu Qiaomei dari China. Namun ada perempuan-perempuan Jugun Ianfu dari negara-negara lain yang bersaksi tentang perkosaan beramai-ramai terhadap mereka sebelum dijadikan Jugun Ianfu seperti kesaksian Hwang Geun Joo dari Taiwan. Atau mereka diculik oleh tentara Jepang dan dipaksa menjadi Jugun Ianfu seperti Prescila Bartonico dan Maxima Reagala de La Cruz dari Filipina.

Paksaan dapat mengambil berbagai bentuk yang lebih halus seperti janji-janji akan diberi pekerjaan. Bukankah hal seperti inipun seringkali kita dengar saat ini? Perempuan-perempuan muda yang dijanjikan pekerjaan di luar negeri tapi kemudian dipaksa atau terpaksa masuk dalam pelacuran? Atau dalam situasi serupa tapi tak sama hubungan antara majikan dengan bawahan, penguasa dengan yang bawahan. Apakah dalam relasi yang tidak seimbang seperti ini pihak bawahan berani menentang perintah atasannya?

Sikap Jepang
Sesudah munculnya reaksi keras dari berbagai negara atas pernyataannya itu, maka Perdana Menteri Abe kembali mengeluarkan pernyataan untuk meredam kemarahan. Di depan komisi parlemen pekan ini, Abe mengatakan tetap berpegang pada pernyataan pemerintah tahun 1993 yang diucapkan oleh Kepala Sekretariat Kabinet Yohei Kono pada waktu itu. Pernyataan itu mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang dalam mengadakan tempat-tempat penghibur dan memaksa para perempuan menjadi Jugun Ianfu. Sehubungan dengan itu Kono menyatakan maaf.

Perdana Menteri Abe menyatakan tetap berpegang pada pernyataanSikap Jepan Kono itu tapi menambahkan pula bahwa Jepang tidak akan minta maaf lagi mengenai masalah Jugun Ianfu ini. Tidak berselang lama penjabat Kepala Sekretaris Kabinet Hakubun Shimomura kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia menyatakan keyakinannya bahwa tentara Jepang tidak terlibat dalam memaksa para perempuan menjadi budak seks. Sebagian pendukung Abe yang konservatif berpandangan bahwa para Jugun Ianfu itu adalah pelacur yang dibayar untuk pelayanannya.